disadur dari Halaqoh.net
Syarat Ibadah Haji & Umroh
Syarat-syarat ibadah haji dan umrah ada yang bersifat khusus bagi laki-laki dan wanita dan ada juga yang bersifat umum. Syarat-syarat yang bersifat umum adalah sebagai berikut.
1 Muslim, karenanya orang kafir tidak sah hajinya, karena mereka tidak cakap untuk melaksanakan seluruh ibadah dalam Islam.
2 Baligh dan berakal. Oleh sebab itu, ibadah tidak diwajibkan bagi anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap untuk bertindak hukum.
Apabila orang gila melaksanakan haji atau umrah maka haji dan umrahnya itu tidak sah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: "Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (orang), yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia bermimpi, dan dari orang gila sampai ia sembul (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmizi). Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa jika anak kecil melaksanakan ibadah haji, maka hajinya sah, tetapi ia tetap berkewajiban mengulangi ibadah hajinya setelah dewasa. Pahala haji anak kecil itu dilimpahkan kepada orang tuanya yang juga haji. Hal ini sejalan denqan sabda Rasulullah SAW dari *Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa'i. Dalam hadis itu diceritakan bahwa seorang wanita melaksanakan ibadah haji dan ia didampingi anaknya yang belum dewasa. Ketika wanita ini bertemu Rasulullah SAW wanita itu bertanya: " Apakah anak ini boleh melaksanakan ibadah haji?" Rasulullah SAW menjawab: "Boleh, dan pahalanya bagimu." Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, haji anak kecil itu tidak sah sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam at-Tirmizi di atas. Di samping itu, mereka juga menganalogikan haji anak kecil ini dengan *nazar mereka. Menurut ularna Mazhab Hanafi, nazar anak kecil tidak wajib dipenuhi, demikian juga dengan hajinya juga tidak sah, karena anak kecil belum cakap dibebani hukum.
3 Merdeka, karenanya hamba sahaya (*budak) tidak wajib melaksanakan ibadah haji, karena haji memerlukan waktu yang panjang. Jika mereka mengerjakan haji, maka kepentingan tuannya akan terabaikan.
4 Memiliki kemampuan fisik, harta dan dalam keadaan amman, yaitu mempunyai kemampuan untuk sampai ke Mekah dalam keadaan aman. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt dalam surah Ali'Imran (3) ayat 97 di atas. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih tentang kriteria "kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji" tersebut. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, kemampuan itu mempunyai tiga unsur, yaitu kekuatan badan atau fisik, kemampuan harta, dan keamanan di perjalanan dan di Tanah Suci, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. Menurut ularna Mazhab Syafi 'i, kemampuan itu mengandung tujuh unsur, yaitu kekuatan fisik; kemampuan harta, tersedia alat transportasi; tersedianya kebutuhan pokok yang akan dikonsumsi di Tanah Suci; keadaan di perjalanan dan di Tanah Suci dalam keadaan aman; jika yang beribadah haji itu adalah istri, maka harus didampingi suami atau mahram lainnya; dan seluruh kemampuan itu diperhitungkan sejak bulan Syawal sampai berakhirnya amalan-amalan haji. Sedangkan ulama Mazhab Hanbali hanya menafsirkan kemampuan itu dalam dua hal, yaitu kemampuan di bidang harta dan keamanan di perjalanan dan di Tanah Suci. Ulama Mazhab Hanbali tidak memberikan penafsiran yang luas terhadap pengertian kemampuan tersebut, karena mereka mengikatkan diri dengan pengertian kemampuan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadis Rasulullah SAW diceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pengertian "kemampuan untuk melaksanakan haji" tersebut. Rasulullah SAW menjawab: "Kelebihan harta dan keamanan perjalanan " (HR. ad-Daruqutni dari Jabir bin Abdullah, hadis yang sama juga diriwayatkan at-Tirmizi dari Umar).
Menurut ulama fikih, syarat-syarat khusus dalam melaksanakan haji bagi wanita adalah sebagai berikut:
1 Harus didampingi suami atau mahramnya. mereka tidak mempunyai suami atau mahram, maka haji tidak wajib bagi mereka. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah SAW: "Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan yang memakan waktu tiga hari, kecuali didampingi mahramnya" (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal dari ibnu Umar). Dalam hadis lain Rasulullah SAW berbda: "Istri tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali didampingi suami" (HR. ad-Daruqutni). Ulama Mazhab Syafi'i menyatakan bahwa jika ada beberapa wanita yang dapat dipercaya mendampingi wanita yang tidak mempunyai suami atau mahramnya naik haji, maka wanita yang tidak punya suami atau mahram ini wajib melaksanakan ibadah haji. Menurut ulama Mazhab Maliki, di samping dalam keadaan yang dikemukakan ulama Mazhab Syafi'i di atas, diwajibkan juga bagi wanita tersebut untuk melaksanakan ibadah haji apabila ada pendamping yang menjamin keamanannya. Alasan ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i adalah firman Allah SWT dalam surah Ali'Imran (3) ayat 97 di atas.Menurut mereka, yang dipentingkan oleh ayat ini adalah keamanan bagi orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji. Apabila keamanan wanita ini terjamin, maka dia wajib melaksanakan ibadah haji.
2 Wanita itu bukan wanita yang dalam keadaan menjalani masa *idah, baik idah karena *talak maupun idah karena kematian suami. Syarat ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah at- Talaq (65) ayat 1 yang artinya: "...Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan) keluar..." Akan tetapi, ulama Mazhab Hanbali membolehkan wanita yang dalam menjalani idah talak untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi melarang wanita yang kematian suami untuk melaksanakan ibadah haji. Pembedaan ini meka lakukan karena bagi wanita yang sedang mennjalani idah wafat, wajib untuk tetap berada di rumah mereka, sebagai penghormatan terhadap suami mereka yang baru meninggal. Sedangkan bagi wanita yang ditalak tidak demikian. Wanita yang ditalak suaminya, menurut mereka, tidak harus senantiasa di rumah, tetapi mereka dibolehkan bepergian, khususnya dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya. Oleh sebab itu, apabila wanita yang dita1ak ini telah memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan ibadah haji, maka wajib bagi mereka untuk melaksanakan ibadah haji, sebagaimana yang berlaku pada wanita yang tidak beridah.
No comments:
Post a Comment